Monday, October 13, 2008

KEBENARAN BERDASARKAN FAKTA & REALITA

(copied from Cornelius Wing's blog, click here!)

Yohanes 8:32,
"... dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu." Selama ini kita telah dengan sangat mahir mengucapkan ayat ini, tanpa (mungkin saja) memahami maksud inti di dalamnya. Ketika Alkitab menyinggung tentang ‘kebenaran’, kata yang dipakai adalah "ALETHEIA", yang lebih mengacu kepada penyampaian sebuah kebenaran berdasarkan fakta dan realita. Fakta dan realita adalah sesuatu yang tidak terbantahkan. Pada kenyataannya, kebenaran yang disampaikan tanpa sokongan fakta dan realita, ternyata tidak akan menuntun orang kepada sebuah kemerdekaan yang sejati dalam kehidupan mereka.

Dalam penyampaian kebenaran, banyak orang lebih mengacu kepada pernyataan yang bersifat asumtif. Bukan hanya itu, banyak yang menyoroti pengalaman pribadi, ajaran turun-temurun dan mengemasnya menjadi sebuah kebenaran baru yang tanpa dasar. Dampak yang dihasilkan adalah lebih banyak orang menjadi semakin terjerat pada kehidupan dan praktek agama, yang ternyata semakin mengikat dan menjauhkan mereka dari gaya kehidupan Kerajaan Allah.

Sebagai contoh, dalam Markus 12:41-44, kebenaran memberitahukan kepada kita bahwa ketika orang menyoroti makna sebuah pemberian pada jumlah, Yesus lebih menyoroti pada sisi pengorbanan. Buat Yesus, jumlah bukanlah persoalan inti, makna pemberian sebenarnya terletak pada pengorbanan yang terhisap di dalamnya. Bukankah ini adalah kabar baik yang memerdekakan bagi semua orang? Orang dapat memberi dengan merdeka, walau pun sedikit jumlahnya, namun ketika mereka memberi dengan motivasi benar dan sebuah pengorbanan, Tuhan menyoroti dan menghargainya. Beberapa waktu yang lalu, saya mendengar keluh kesah dari seorang wanita yang berkata bahwa setelah mendengarkan sebuah khotbah tentang memberi, dia merasa bersalah apabila tidak memberi dalam jumlah besar. Dalam tekanan, akhirnya dia memutuskan untuk memberi juga dalam jumlah yang besar. Memberi dalam tekanan karena rasa bersalah bukanlah sebuah kebenaran yang memerdekakan. Alkitab berkata bahwa orang harus memberi dengan sukacita dan tanpa paksaan. Fokus yang diajarkan oleh Yesus adalah bukan jumlah, namun hati yang mencintai Tuhan sehingga membuat kita memutuskan untuk berkorban bagi Dia.

Matius 15:1-14, sementara orang menitikberatkan tentang persoalan “berbicaralah menggunakan hikmat” karena berupaya untuk menghindari aniaya, (atau mungkin) karena takut teraniaya, Yesus justru mengajarkan hal yang berbeda. Yesus memilih untuk berbicara secara terus terang berdasarkan fakta dan realita. Yang menajiskan orang bukan saat di mana mereka tidak mengerjakan peraturan agama dan adat istiadat, sebab yang menajiskan orang adalah persoalan hati mereka. Dengan kata lain, fakta dan realita kebenaran yang diajarkan oleh Yesus adalah bahwa peraturan agama dan adat istiadat bukanlah hal inti yang harus menjadi prioritas. Kita tidak berdosa, jika kita tidak mengerjakannya. Sebab prioritas inti yang harus kita perhatikan adalah kebenaran dalam hati kita, yang akan menolong kita untuk merdeka dari segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat. Ketika hati terpenuhkan oleh kebenaran, orang akan mampu menghidupi gaya kehidupan berkerajaan. Bukankah berita ini akan memerdekakan orang dari belenggu liturgis yang mencondongkan kita ke arah perilaku agama?

Sebagai orang-orang yang bertanggung jawab untuk menyuarakan kebenaran, kita perlu mencermati kembali kebenaran seperti apakah yang telah kita beritakan. Apakah sebuah kebenaran tak berdasar dengan kemasan super, sebagai upaya agar kita lebih diterima dan disukai orang, lebih terkenal dan berpenghasilan lebih? Ataukah sebuah kebenaran berdasarkan fakta dan realita yang akan menuntun orang lain kepada kemerdekaan dari semua belenggu yang akan membatasi mereka untuk semakin maksimal dalam Kerajaan Allah?

Saya rasa adalah baik bagi kita untuk menyelami kembali –
makna kehidupan dan berita kebenaran yang disampaikan oleh Kristus – dalam setiap perenungan kita secara pribadi. Sehingga biarlah dalam setiap pemberitaan kebenaran, kita hanya akan menyampaikan fakta dan realita yang memerdekakan orang, tanpa menyisipkan kepentingan pribadi di dalamnya. Saya berdoa biarlah keberanian untuk menyuarakan kebenaran berdasarkan fakta dan realita, membuat kita menjadi terkenal sebagai pengikut jalan Tuhan yang terbiasa memikul salib dalam menapaki perjalanan kehidupan ini.

No comments: